Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989, mulai pasal 54 sampai dengan pasal 105. Menurut ketentuan pasal 54 yang berbunyi “ Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara  Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hukum acara perdata yang secara umum berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada pengadilan dalam Peradilan Agama. Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata”. [1]
Hukum Acara Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku di Peradilan  Umum di samping hukum acara yang diatur tersendiri dalam UU No. 7 Tahun 1989. Hukum terapannya adalah Hukum Islam Positif yang merupakan subsistem dari sistem hukum positif Indonesia.  Maka pertimbangan-pertimbangan putusannya akan terkait dengan subsistem dari sistem hukum positif Indonesia lainnya dan penalarannya akan menggunakan konsep-konsep, pengertian-pengertian, konstruksi konstruksi, dan lainnya dari hukum Indonesia pada umumnya.[2]
Ada beberapa sumber hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang kemudian berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Adapun sumber-sumber hukum acara perdata itu antara lain adalah:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie), yang disigkat BW.
2.      Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering), yang pada masa penjajahan Belanda berlaku untuk Raad van Justitie.
3.      Reglemen Indonesia yang dibaharui (Het herziene Indonesisch Reglement), yang lebih dikenal dengan singkatan HIR atau RIB.
4.      Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling  van bet Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura), yang lebih dikenal dengan singkatan RBg.
5.      Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Disamping itu terdapat berbagai peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata yang berlaku bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, yaitu:
1.      Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
2.      Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985.
3.      Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Berdasarkan ketentuan pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 kedelapan peraturan perundang-undangan itu berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan hukum acara yang khusus diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 meliputi tiga bagian, yaitu:
1.      Ketentuan yang bersifat umum, di antaranya tentang asas-asas peradilan, penetapan dan putusan pengadilan, dan upaya hukum (banding dan kasasi)
2.      Mengatur tentang pemeriksaan sengketa perkawinan, yang meliputi perkara cerai talak, cerai gugat, dan cerai dengan alasan zina.
3.      Mengatur tentang biaya perkara.[3]
Pengadilan agama adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal itu menunjukkan bahwa Pengadilan Agama satuan (unit) penyelenggara Peradilan Agama. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, tugas pokok Pengadilan Agama adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah perkara-perkara tertentu antara orang-orang beragama Islam demi tegaknya hukum dan keadilan. Berkenaan dengan hal itu maka hukum acara peradilan agama merupakan suatu cara untuk melaksanakan hukum Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Dalam menjalankan tugas-tugas pokoknya ini Peradilan Agama dibantu oleh panitera, yaitu untuk menjalankan tertib administrasi perkara. Dalam menjalankan tugas pokok pengadilan, panitera menerima perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama untuk diproses lebih lanjut. Prosedur penerimaan perkara di Pengadilan Agama dilakukan melalui beberapa meja, yaitu Meja I, Meja II, dan Meja III. Pengertian Meja yang dimaksud di sini adalah kelompok pelaksana teknis yang harus dilakui oleh suatu perkara di Pengadilan Agama, mulai dari penerimaan sampai perkara tersebut diselesaikan.[4]
Persidangan yang dihadiri para pihak dari awal sampai putusan, baik hadir secara terus menerus atau tidak adalah melalui tahapan sebagai berikut:[5]
a.       Upaya perdamaian
b.      Pembacaan surat gugat. Ada kemungkinan pada tahapan ini, antara lain penggugat mencabut, mengubah atau menambah, dan tetap mempertahankan surat nikah.
c.       Jawaban tergugat. Isinya bisa berupa persetujuan, bantahan, atau berupa  dua macam jawaban, yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut tangkisan atau eksepsi dan jawaban yang langsung mengenai pokok perkara
d.      Replik penggugat. Yaitu penjelasan-penjelasan terhadap surat gugat yang dijawab oleh tergugat.
e.       Duplik tergugat.
f.        Pembuktian. Pemeriksaan alat-alat bukti, kesempatan untuk menyampaikan alat-alat bukti diberikan kepada pihak-pihak secara bergantian. Penggugat diberi kesempatan terlebih dahulu.
g.       Kesimpulan
h.       Pembacaan putusan
Tahapan-tahapan ini dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:[6]




Majelis Hakim

 



















 




Terdapat dua bentuk perkara yang diajukan kepada pengadilan, yaitu:
a.       Permohonan. Merupakan perkara yang tidak mengandung sengketa. Kedudukan termohon, dalam arti sebenarnya bukan sebagai pihak. Namun, keterangannya diperlukan dalam sidang pengadilan. Produk pengadilan terhadap permohonan ini adalah penetapan.
b.      Gugatan. Merupakan perkara yang mengandung sengketa atau konflik antara pihak-pihak, yang menuntut pemutusan atau penyelesaian pengadilan. Dalam hal ini, hakim benar-benar berfungsi sebagai pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Hal yang demikian ini merupakan pengadilan yang sesungguhnya. Produk pengadilan terhadap gugatan ini adalah putusan.

A.     Alat-Alat Bukti yang digunakan dalam Beracara pada Peradilan Islam
Agar dapat menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya dan penyelesaian itu memenuhi tuntutan keadilan, maka hakim wajib:
1.      Mengetahui hakikat dakwaan/ gugatan.
2.      Mengetahui hukum Allah tentang kasus tersebut.[7]
Pengetahuan hakim tentang hakikat dakwaan/gugatan adakalanya menyaksikan sendiri peristiwanya, atau menerima keterangan dari pihak lain. Jika itu yang terjadi, maka tidak dapat disebut sebagai pengetahuan hakim tapi hanya dapat disebut sebagai persangkaan (dhan).  Untuk mencapai persangkaan ini, hakim harus sudah mengambil langkah-langkah yang cermat, dan pengetahuan hakim itu dipandang cukup dengan menampilkan bukti-bukti, seperti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
1.      Bukti surat (pasal 165, 168, 1867 BW). Berupa tulisan yang berisi keterangan tertentu tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu dan ditandatangani. Bukti surat biasa disebut akta, ada dua jenis, yaitu akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang, dan akta di bawah tangan yang dibuat oleh pihak-pihak tentang suatu peristiwa atu perbuatan tertentu  yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan. Selain akta. Bukti tertulis bisa juga surat-surat lain yang bukan akta.
2.      Bukti saksi (pasal 168 s.d. 172, 1895 BW). Keterangan yang dikemukakan oleh saksi tentang peristiwa yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri oleh pihak yang bersangkutan. Namun. Seorang saksi tanpa alat bukti lain tidak dapat dipercayai dalam hukum. Selain itu terdapat beberapa pihak yang tidak dapat boleh didengar sebagai saksi, yaitu keluarga, suami atau istri, anak-anak, dan orang gila.
3.      Bukti persangkaan (pasal 173,1915 BW). Persangkaan atau al-qarinah merupakan kesimpulan yang oleh undang-undang atau hukum ditarik dari suatu peristiwa yang jelas ke arah suatu peristiwa lain yang belum jelas kenyataannya. Persangkaan ini ada dua jenis, yaitu persangkaan berdasarkan undang-undang dan persangkaan yang berupa kesimpulan hakim.
4.      Bukti pengakuan (pasal 174, 175, 176, 1923 BW). Merupakan suatu pernyataan dari suatu pihak tentang kebenaran suatu peristiwa, keadaan, atau hal tertentu yang dapat dilakukan dalam sidang, yakni pernyataan atau keterangan sepihak yang bersifat sempurna dan mengikat sehingga pemeriksaan hakim tidak diperlukan lagi, maupun di luar sidang, yaitu hakim bebas untuk menilai karena sifatnya tidak mengikat dan bukan alat bukti yang sempurna.
5.      Bukti sumpah (pasal 155 s.d. 158, 177, 381, 1929 BW). Merupakan hak penggugat apabila ia tidak dapat membuktikan gugatannya, sedang tergugat menolak isi gugatan itu. Yaitu pernyataan yang diucapkan secara resmi dan dengan menyebut nama Allah. Sumpah ada tiga macam,yaitu sumpah pelengkap atau tambahan (suppletoir), sumpah penaksiran (aestimatoir), dan sumpah pemutus (decissoir).[8]


[1] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hal 225-226
[2] Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Perradilan Agama dalam sistem Hukum Nasional, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 125

[3] Cik Hasan Bisri, Peradilan.., hal. 226-227
[4] Nur Lailatul Musyafa’ah, dkk, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 75
[5] Musthofa,  Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media,2005), hal. 91-92
[6] Ibid, hal. 92
[7] Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset), hal. 105
[8] Cik Hasan Bisri, Peradilan.., hal.234-235

Read more

prinsip dan unsur peradilan islam

Written by anak baru GEDE 2 komentar Posted in:

1. Unsur-unsur peradilan Islam
Unsur-unsur peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha’. Secara bahasa, rukun yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu. Secara istilah, rukun berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena terwujudnya sesuatu itu mesti dengan adanya bagian itu. Jadi, rukun qadha’ (unsur-unsur peradilan) yaitu apa yang menunjukkan eksistensi peradilan itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa peradilan Islam mempunyai lima rukun atau unsur, yaitu:
a) Hakim (qadhi)
Yakni orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak bisa melaksanakan sendiri tugas-tugas peradilan. Sebagaimana yang dilakukan nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya. Beliau mengangkat qadli-qadli untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat yang jauh.

b) Hukum (qodho’)
Yaitu suatu keputusan produk qadli untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan persengketaan. Ada dua bentuk keputusan hakim:
- Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah satu pihak dengan redaksi “aku putuskan atasmu demikian”, atau menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa.
- Qadla’ tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada penggugat: kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah tergugat.

c) Al-mahkum bih (hak)
Yaitu sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak. Pada qadla’ ilzam, yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat. Sedangkan pada qadla’ tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan atas gugatannya itu. Atas dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri. Hak itu adakalanya hak Allah semata, hak manusia semata, atau hak yang dipersekutukan antara Allah dan manusia tetapi salah satu lebih berat.
Apabila hak yang dituntut itu merupakan hak manusia semata, atau menurut lazimnya merupakan hak manusia, maka penuntutnya adalah pemilik hak itu sendiri, atau orang yang diberi kuasa olehnya. Si penuntut itu disebut mudda’i (penggugat). Jika ternyata dia tidak menuntut atau membatalkan tuntutannya, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menuntut haknya. Apabila hak yang dituntut itu adalah hak Allah semata-mata atau menurut lazimnya hak itu merupakan hak Allah, maka tuntutan itu dilakukan oleh penuntut umum (jaksa). Menurut hanafiyyah, yang dimaksud hak Allah adalah hak masyarakat (publik).

d) Al-mahkum ‘alaih
Yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya. Mahkum ‘alaih yaitu orang yang dikenai putusan untuk diambil haknya, baik ia mudda’a alaih (tergugat) atau mudda’i (penggugat).

e) Al-mahkum lahu
Yaitu penggugat suatu hak, yang merupakan hak manusia semata-mata (hak perdata), atau hak yang lazimnya merupakan hak manusia semata-mata. Mahkum lah harus melakukan sendiri gugatan atas haknya atau dengan perantaraan orang yang diberi kuasa olehnya, dan ia harus datang sendiri ke persidangan atau wakilnya. Adapun bila hak itu merupakan hak Allah semata, maka mahkum lah-nya adalah syara’. Dalam hal ini, tuntutan bukan datang dari perorangan, tetapi sesuai syari’at Islam. Tuntutan itu dilakukan oleh lembaga penuntut umum.

Adapun di Indonesia, unsur-unsur peradilan agama meliputi:
1. Kekuasaan negara yang merdeka.
2. Penyelenggara kekuasaan negara, yakni pengadilan.
3. Perkara yang menjadi wewenang pengadilan.
4. Pihak-pihak yang berperkara.
5. Hukum yang dijadikan rujukan dalam berperkara
6. Prosedur dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara.
7. Penegakan hukum dan keadilan sebagai tujuan.

2. Prinsip-prinsip peradilan Islam
Negara-negara modern melaksanakan kepentingannya dengan menggunakan tiga kekuasaan, yaitu;
1).Kekuasaan perundang-undangan/as-sulthoh at-tasyri’iyyah yang berwenang membuat undang-undang.
2).Kekuasaan eksekutif/as-sulthoh at-tanfidziyyah yang bertugas melaksanakan undang-undang.
3).Kekuasaan kehakiman/as-sulthoh al-qodlo’iyyah yang berwenang menerapkan undang-undang untuk menyelesaikan perselisihan dan menegakkan keadilan di antara manusia.
Kita lihat bahwa kekuasaan peradilan/kehakiman itu terpisah dari dua kekuasaan yang lain. Ini berarti bahwa kedua kekuasaan/lembaga lainnya tidak diperkenankan mengintervensi/ ikut campur dalam perkara-perkara atau urusan peradilan. Teori pemisahan kekuasaan ini memunculkan prinsip-prinsip penting dalam peradilan Islam yang jumlahnya ada delapan (8) yaitu:

a. Istiqlal al-qodlo’(kemerdekaan kehakiman)
Kekuasaan kehakiman itu merdeka/berdiri sebagai lembaga kekuasaan tersendiri. Tujuannya adalah untuk menjaga peradilan agar tidak terkena pengaruh atau dengan kata lain untuk menghindari adanya turut campur dua kekuasaan lain; legislatif dan eksekutif. Ini adalah hal yang bagus dan rasional dalam tatanan hukum. Prinsip ini sudah ada sejak masa Rasulullah SAW hidup.
b. Al-Musawah amamal qodlo’ (kesamaan di hadapan hukum)
Kebanyakan orang beranggapan bahwa prinsip kemerdekaan, persaudaraan, dan persamaan itu tidak dikenal sebelum meletusnya revolusi Prancis pada akhir abad ke-18 M. Padahal sebenarnya prinsip itu telah dikemukakan baik dalam al-qur’an, hadits, dan ucapan Khulafa’ur Rosyidin sejak abad ke-7 masehi. Dalam mengadili, Rasulullah SAW selalu bersikap sama di antara pihak yang berselisih. Begitu juga yang dilakukan oleh para khulafa’ur rosyidin.
Amirul mu’minin Umar ibn al-Khatthab r.a pernah memberikan nasehat kepada seorang qodli: “bersikaplah sama di antara manusia di hadapanmu dalam pernyataan dan keputusan. Sehingga orang yang mulia tidak berharap kemenangan perkara dalam keculasanmu, dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilanmu.”
c. Majjaniyatul qodlo’ (peradilan gratis).
Di negara-negara Islam, sejak dulu tidak pernah ada qodli yang boleh memungut biaya dari orang yang berperkara ke pengadilan. Hal ini untuk menunjukkan kedermawanan dan tidak adanya sikap tamak dalam diri sang Hakim/qodli. Pemerintahan Islamlah yang menggaji mereka (para qodli). Prinsip seperti ini tidak dikenal oleh negara-negara eropa kecuali setelah revolusi Prancis. Akan tetapi, dengan adanya prinsip ini bukan berarti orang yang berperkara tidak menyerahkan uang sama sekali ke pengadilan. Undang-undang positif mengharuskan penyerahan sedikit biaya untuk mengurus (administrasi) perkara yang diajukan.
d. At-taqodli ‘ala darojatain aw al-isti’naf (upaya hukum naik banding).
Berdasarkan prinsip ini, orang berperkara yang telah mendapatkan keputusan hukum atas suatu kasus di pengadilan tingkat pertama, boleh mengajukan kasus itu lagi ke pengadilan yang lebih tinggi alias naik banding untuk mendapatkan keputusan hukum lagi atas kasus tersebut. Pengadilan yang lebih tinggi ini mempunyai kemerdekaan atau kebebasan untuk menentukan, apakah keputusan pertama atas kasus itu (hasil pengadilan sebelumnya) dikukuhkan , diganti, atau dibatalkan. Prinsip ini telah dikenal luas dalam semua undang-undang positif. Prinsip ini mempunyai faedah yang penting. Ia mendorong qodli/hakim untuk berhati-hati dan mengerahkan usaha maksimal dalam menangani kasus yang diajukan kepadanya. Karena hakim tersebut tahu bahwa hukum yang ia putuskan akan mungkin ditampakkan/diperlihatkan lagi di kemudian hari (di pengadilan banding), jika ternyata ada kekeliruan dalam keputusannya itu. Sehingga hal ini mendorong sang hakim untuk ber-ijtihad dan melakukan penelitian secara mendalam agar hukum yang ia putuskan tidak diganti atau dianulir.
e. Al-qodlo’ fil Islam yaqumu ‘ala nidhomi al-qodli al-fard (kehakiman Islam menerapkan aturan hakim tunggal).
Dalam sistem peradilan Islam, yang memutuskan perkara di antara manusia adalah seorang qodli saja. Dalam kondisi ada kebutuhan, Fuqoha’ memperbolehkan sang hakim didampingi beberapa Ulama’ sebagai pendamping yang akan memberikan sumbangan pendapat pada hakim. Akan tetapi mereka (ulama’) tidak boleh ikut campur dalam memutuskan hukum atas kasus yang disidangkan. Pendapat mereka hanya sebagai pertimbangan seperlunya bagi hakim. Jadi yang memutuskan hukum tetap sang hakim/qodli itu sendiri.
f. ‘Alaniyatu majlisil qodlo’ (sidang peradilan yang terbuka)
Fuqoha’ bersepakat atas terbukanya pengadilan. Bahwa pengadilan dilaksanakan secara terbuka. Sebagaimana Rasulullah menyelenggarakan persidangan di masjid.
g. Hushulul ijro’at fi muwajahatil khushum (mempertemukan pihak yang berselisih)
Keputusan hukum tidak bisa dijatuhkan sebelum kedua belah pihak terkait dipertemukan (saling mengetahui dan didengarkan pendapatnya masing-masing). Mengenai pihak berperkara yang ghaib (tidak hadir dalam persidangan), ada kaedah-kaedah tersendiri yang mengaturnya, sehingga hak masing-masing pihak tetap terjaga.
h. Sulthotul qodli fil fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih Islam)
Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, walaupun sudah ada undang-undang positif yang diterapkan, fikih (hukum Islam) tetap menjadi pijakan dalam menetapkan, mengganti atau menganulir hukum.

Read more

penghancuran dan perusakan

Written by anak baru GEDE 0 komentar Posted in:

PEMBAHASAN
A.       Pengertian penghancuran dan perusakan
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata penghancuran berasal dari kata hancur yang berarti pecah menjadi kecil-kecil, dan mendapat awalan peng- dan akhiran –an, yang berarti proses, cara, perbuatan menghancurkan. Sedangkan perusakan berasal dari kata rusak yang berarti sudah tidak sempurna lagi (baik, utuh), mendapat awalan pe- dan akhiran  -an, yang berarti suatu, proses, perbuatan merusakkan.[1] Ini adalah pengertian secara bahasa.
Sedangkan pengertian penghancuran dan perusakan secara istilah, seperti yang tercantum dalam pasal 406 KUHP, unsur-unsur pengertiannya sebagai berikut:
dengan sengaja dan dengan melawan hukum membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan suatu barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain”.
Menghancurkan (Vernielen), disebut juga membinasakan yang berarti merusak sama sekali, misalnya membanting gelas, cangkir, tempat bunga, sehingga hancur.  “Membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi” artinya perbuatan itu harus sedemikian rupa, sehingga barang itu betul-betul tidak dapat dipakai lagi. Misalnya melepaskan roda-roda kendaraan, dengan hanya mengulirkan sekrupnya saja belum berarti membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi, oleh karena itu dengan jalan memasang roda-rodanya dengan mengembalikan sekrup yang mengulir ia dapat memperbaiki dan dapat dipergunakan lagi.[2]  “Menghilangkan” berarti membuat sehingga barang itu tidak ada lagi, misalnya dibakar habis, dimakan, dibuang sehingga hilang.
Sedangkan merusakkan berarti kurang dari membinasakan (beschaidigen) misalnya memukul gelas gelas, piring, cangkir, dan sebagainya tidak sampai hancur, akan tetapi hanya pecah, sedikit retak atau hanya putus pegangannya.[3]
Tentang tindak kejahatan penghancuran dan perusakan barang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal 407, 408, 409, 410, 411, dan 412.
Pasal 406 :
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.  Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang, yang dengan sengaja dan melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain. [4]

Tentang pengertian dari penghancuran dan perusakan telah dijelaskan di alinea atas. Dan pada pasal 406, terdapat kata membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi, maksudnya tindakan tersebut harus demikian rupa, sehingga barang tersebut tidak dapat diperbaiki lagi.  Yang termasuk barang yaitu yang dapat terangkat, maupun tidak dapat terangkat. Termasuk binatang yang ketentuannya terdapat pada alinea kedua.   
Sebagaimana terlihat dalam pasal 406 dan 407, undang-undang tidak memberikan kualifikasi dari perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut. Akan tetapi, dalam doktrin perbuatan-perbuatan itu disebut perusakan pada pasal 406 dan perusakan ringan pada pasal 407.[5]

B.       Unsur-unsur Penghancuran dan Perusakan
Tindak pidana kesengajaan menghancurkan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai atau menghilangkan benda yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain seperti yang diatur dalam pasal 406 ayat (1) KUHP tersebut di atas, mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1.    Unsur subyektif  dalam KUHP pasal 406 ayat 1 yaitu unsur dengan sengaja (opzettelijk). Secara umum yang dimaksud adalah tentang apa yang dikehendaki (gewild) dan tentang apa yang dapat diketahui (geweten), yakni bahwa apa yang dapat dikehendaki itu hanyalah perbuatan-perbuatan, sehingga terhadap perbuatan tersebut orang dapat mengatakan bahwa orang dapat mempunyai opzet als oogmerk, sedangkan yang dapat diketahui itu adalah keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan-perbuatan, hingga terdapat keadaan-keadaan itu orang dapat mengatakan bahwa orang hanya dapat mempunyai suatu opzet als wetenschap.[6]
2.    Unsur –unsur obyektif  dalam KUHP pasal 406 ayat 1 yaitu:
a.     Barang siapa, yaitu menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 406 ayat 1 KUHP, maka ia dapat disebut dader atau pelaku dari tindak pidana tersebut.
b.    Melawan hukum (wederrechtelijk), mengingat unsur ini dalam rumusan KUHP pasal 406 terdapat di belakang kata dengan sengaja  sehingga dapat dinyatakan seorang terdakwa telah memenuhi unsur secara melawan hukum.
c.    Menghancurkan.
d.    Merusakkan.
e.    Membuat sehingga tidak dapat dipakai, dalam yurisprudensi unsur ini hanya ditemukan sejarah terbentuknya, bahwa yang dimaksud dengan membuat sehingga tidak dapat dipakai itu adalah membuat sehingga tidak dapat dipakai sesuai kegunaannya.
f.      Menghilangkan, juga dapat diartikan mengambil sehingga tidak dapat ditemukan kembali.
g.    Benda, menurut Simons benda-benda yang tidak bergerak (Monroerende goederen) harus dimasukkan pengertian benda.
h.    Yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. Unsur ini disyaratkan sesuai dengan sifat dari tindak pidananya sendiri yakni sebagai tindak pidana yang ditujukan terhadap harta kekayaan orang lain. [7]

C.       Bentuk penghancuran dan perusakan dan sanksi hukumnya
Tindak kejahatan dalam bentuk penghancuran dan perusakan diatur dalam KUHP.  Menurut KUHP tindak pidana penghancuran atau perusakan dibedakan menjadi lima macam, yaitu :

1.    Penghancuran atau perusakan dalam bentuk pokok.
Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 406 yang  menyatakan:
Barang siapa dengan sengaja dan dengan melanggar hukum menghancurkan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi, atau menghilangkan barang yang seluruhnya atau sebagai kepunyaan orang lain, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang, yang dengan sengaja melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain. [8]  

2.    Penghancuran atau perusakan ringan.
Jenis tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 407 KUHP dengan pengecualian sebagaimana diterangkan dalam Pasal 407 KUHP ayat (2) KUHP. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dikemukakan bunyi Pasal tersebut.
Ketentuan Pasal 407 KUHP secara tegas menyatakan:[9] 
a.       Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 406, jika harga kerugian yang disebabkan tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah
b.      Jika perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 406 ayat kedua itu dilakukan dengan memasukkan bahan-bahan yang merusakkan nyawa atau kesehatan atau, jika hewan termasuk yang tersebut dalam Pasal 101, maka ketentuan ayat pertama tidak berlaku.

3.    Penghancuran atau perusakan bangunan jalan kereta api, telegraf, telepon dan listrik (sesuatu yang digunakan untuk kepentingan umum).
Jenis tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 408 KUHP yang menyatakan:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan atau  membikin tidak dapat dipakai  bangunan-bangunan, kereta api, trem, telegram, telepon atau listrik, atau bangunan-bangunan untuk membendung, membagi atau menyalurkan air, saluran gas, air atau rel yang digunakan untuk keperluan umum, diancam dengan pidana paling lama empat tahun, yaitu jika semuanya itu dipergunakan untuk kepentingan umum.[10]
4.    Penghancuran atau perusakan tidak dengan sengaja.
Jenis tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 409 KUHP yang menyatakan:[11]
"Barang siapa yang karena kealpaannya menyebabkan bangunan-bangunan tersebut dalam Pasal di atas dihancurkan, dirusakkan, atau dibikin tidak dapat dipakai diancam dengan kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak seratus rupiah".[12]

5.    Penghancuran atau perusakan terhadap bangunan dan alat pelayaran.
Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 410 KUHP yang menyatakan:[13]
"Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan atau membikin tak dapat dipakai, suatu gedung atau kapal yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun".
Penjelasan:
Tentang "merusak dsb. muatan kapal", lihat Pasal 472.[14]
Pasal ini mengancam dengan maksimum hukuman penjara lima tahun yaitu bagi orang-orang yang dengan sengaja dan dengan melanggar hukum melakukan penghancuran atau perusakan barang tersebut dalam Pasal di atas.  Maksud dari si pelaku tidaklah perlu ditujukan terhadap sifat perbuatan yang melawan hukum dan cukuplah bila perbuatan itu telah dilakukan dengan sengaja dan perbuatan itu adalah melawan hukum kata dan pada pasal 410 berdiri berdampingan, yang mengindikasikan bahwa unsur yang terakhir itu tidak diliputi oleh unsur yang pertama.[15]
D.        KASUS
       Beberapa waktu yang lalu, departemen kebudayaan dan pariwisata kota Mojokerto bermaksud membangun sebuah gedung yang akan dijadikan sebagai pusat informasi dan penelitian seputar kerajaan Majapahit, atau yang disebut dengan pusat informasi Majapahit (PIM).  Tujuan baik untuk melestarikan dan mempromosikan Majapahit ternyata jauh dari harapan.  Karena gedung PIM tersebut dibangun di atas tanah di daerah Trowulan yang penuh dengan peninggalan-peninggalan dan sisa-sisa kerajaan Majapahit.    Pembangunan gedung di lahan tersebut mendapatkan kecaman berbagai pihak. Para arkeolog mengkhawatirkan rusaknya situs-situs peninggalan bersejarah oleh pembangunan gedung tersebut.  Demikian juga alasan yang dikemukakan oleh aktivis pecinta lingkungan dan sejarah.  Adanya dugaan perusakan terhadap situs bersejarah santer beredar.  Kepolisian mulai mengusut dugaan perusakan situs Majapahit di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Polisi juga mulai meminta keterangan sejumlah pihak yang diduga mengetahui seputar situs Majapahit.
       Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Mojokerto Ajun Komisaris Rofiq Ripto Himawan, Rabu (7/1), menyebutkan, pada tahap awal polisi sudah melakukan penyelidikan ke lokasi pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) di Trowulan dan menanyai sejumlah orang. ”Pada prinsipnya, kami baru mengumpulkan informasi,” katanya.
       Menurut Rofiq, dalam pemeriksaan ke lokasi pembangunan tersebut, polisi mengumpulkan keterangan seputar rencana dan pembangunan PIM dari sejumlah orang. Salah satu yang dimintai keterangan, menurut Rofiq, adalah Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan pada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan Prapto Saptono.
       Namun, ia belum bersedia memberikan keterangan rinci soal materi pemeriksaan dan keterangan yang ditanyakan. ”Mereka semua orang yang berkompeten. Jika diproses secara hukum, mereka saksi ahli yang akan kami gunakan,” kata Rofiq.
       Hal senada dikatakan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Herman S Sumawiredja di Surabaya. ”Berdasarkan hasil penyelidikan sementara oleh Polres Mojokerto, belum ditemukan perusakan lokasi situs. Tetapi, Polda Jatim tetap akan menurunkan tim khusus untuk menyelidiki kemungkinan itu,” kata Herman Sumawiredja.
       Selain itu, polisi juga akan meminta keterangan dari para arkeolog. Namun, lanjut Herman, arkeolog yang ditanyai merupakan rekomendasi dari Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala.
Pasal berlapis
       Secara terpisah, Anam Anis, anggota tim evaluasi pembangunan PIM yang juga Ketua Gotrah Wilwatikta, sebuah lembaga swadaya masyarakat, mengatakan, perusak situs sejarah atau kawasan cagar budaya peninggalan Majapahit di Trowulan bisa dijerat dengan pasal berlapis. Selain dijerat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, pelaku perusakan juga bisa dijerat Pasal 406 KUHP tentang perusakan dan penghancuran barang milik orang lain.
       Menurut Anis, polisi tidak perlu ragu untuk langsung mengadakan penyidikan setelah dilakukan penyelidikan. ”Karena faktanya sudah jelas ada kerusakan. Polisi tidak perlu bingung-bingung, setelah melakukan penyelidikan dan penyidikan segera panggil pihak-pihak terkait,” katanya.[16]

E.       ANALISIS
Pada kasus di atas, telah terjadi tindak perusakan pokok atas situs Majapahit.  Di samping merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang nomor 5 Tahun 1992   tentang Benda Cagar Budaya, tindakan tersebut juga termasuk kejahatan perusakan benda orang lain sebagaimana dirumuskan pasal 406 KUHP yang berbunyi: Barang siapa dengan sengaja dan dengan melanggar hukum menghancurkan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi, atau menghilangkan barang yang seluruhnya atau sebagai kepunyaan orang lain, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
Perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur obyektif dan subyektif dari tindak pidana perusakan dan penghancuran.  Sehingga sang pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 2 tahun 8 bulan.

[1]Ahmad A.K. Muda, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal.386
[2] R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, hal. 141-142
[3] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya, hal.279
[4] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hal. 146
[5] Satochid Kartanegara dan pendapat para ahli hukum terkemuka, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Rektur Mahasiswa
[6] P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, hal. 280
[7] P.A.F Lamintang, Delik-delik...... hal.285-299
[8] Moeljatno, Kitab Undang....., hal. 146
[9] Ibid, hal. 146-147
[10] Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, hal.58
[11]  Ibid.
[12]  Tongat, Hukum Pidana Materiil, hal. 100
[13]  R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya. hal. 279
[14]  Ibid
[15]  Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, hal:187
[16] Sumber KOMPAS, 8 Januari 2009// www.forummajapahit.org

Read more

wilayatul mazhalim

Written by anak baru GEDE 1 komentar Posted in:

A. Pengertian Wilayatul Mazalim, Sejarah, dan Wewenangnya
1. Pengertian Wilayatul Mazalim
Wilayatul Mazalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih tinggi daripada kekuasaan hakim dan muhtashib. Lembaga-lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang berkuasa. Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya dan sebagiannya pula tidak memerlukan pengaduan dari yang bersangkutan, tetapi memang menjadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya.
Lembaga-lembaga ini dilengkapi dengan pegawai-pegawai yang merupakan pengawal dan penjaga yang akan bertindak terhadap seseorang yang membangkang di dalam masa pemeriksaan. Dilengkapi pula dengan hakim-hakim yang pandai untuk ditanyai pendapat-pendapatnya tentang jalannya pemeriksaan, dan ahli-ahli fiqh untuk ditanyakan pendapat oleh panitera untuk mencatat segala keterangan yang diberikan oleh masing-masing pihak, serta beberapa orang saksi untuk masa-masa persidangan.

2. Sejarah Wilayatul Mazalim
Lembaga ini telah terkenal sejak dahulu kala. Kekuasaan ini terkenal dalam kalangan bangsa Arab di zaman jahiliyyah dan di kalangan bangsa Persia. Di masa Rasul SAW masih hidup, maka rasul sendiri yang menyelesaikan segala macam pengaduan terhadap kedzhaliman para pejabat, mengingat penafsirannya terhadap yang paling akurat dan kepribadiannya mencerminkan kitab suci al-qur’an, baik tersirat maupun tersurat . Para Khulafaur Rasyiddin tidak mengadakan lembaga ini, karena anggota-anggota masyarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama. Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di antara mereka dapat diselesaikan oleh pengadilan biasa. Tetapi pada akhir zaman pemerintahan Ali beliau mengadakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat kezhaliman, walaupun beliau belum menentukan hari-hari yang tertentu untuk meneliti perkara-perkara tersebut.
Permulaan khalifah yang mengadakan waktu-waktu tertentu untuk memperhatikan pengaduan-pengaduan rakyat kepada para pejabat, ialah Abdul Malik ibn Marwan. Dalam memutuskan perkara, Beliau berpegang pada pendapat para hakimnya dan ahli-ahli fiqhnya. Umar ibn Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang mempertahankan kebenaran dan membela rakyat dari kedzhaliman.
Pengadilan untuk memutuskan perkara-perkara kedzhaliman, pada masa itu dilakukan di masjid-masjid. Akan tetapi penguasa yang mengetahui sidang mazalim ini dilengkapi dengan bermacam-macam aparat agar pengadilannya mempunyai kewibawaan yang penuh dan dapat melaksanakan putusan-putusannya.

3. Wewenang Wilayatul Mazalim
Al-Mawardy di dalam al-Ahkamu Sulthaniyyah menerangkan bahwa perkara-perkara yang diperiksa dan berada di bawah wewenang lembaga ini ada 10 macam:
a) Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan, maupun terhadap golongan
b) Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta-harta kekayaan negara yang lain
c) Mengontrol/ mengawasi keadaan para pejabat
Ketiga perkara di atas harus diperiksa oleh lembaga mazalim apabila telah diketahui adanya kecurangan-kecurangan dan penganiayaan-penganiayaan tanpa menunggu adanya pengaduan dari yang bersangkutan.
d) Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka dikurangi ataupun dilambatkan pembayarannya
e) Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa-penguasa yang zhalim
Kedua perkara di atas baru bisa diperiksa setelah adanya pengaduan dari yang bersangkutan.
f) Memperhatikan harta-harta wakaf
Jika wakaf-wakaf itu merupakan wakaf umum maka lembaga ini mengawasi berlaku tidaknya syarat-syarat oleh si pemberi wakaf. Adapun wakaf-wakaf yang khusus, harus diperiksa setelah adanya pengaduan dari yang bersangkutan.
g) Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksankan oleh hakim-hakim sendiri, lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya adalah orang-orang yang tinggi derajatnya
h) Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang tak dapat dilaksanakan oleh petugas-petugas hisbah
i) Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadat-ibadat yang nyata seperti jum’at, hari raya, haji, dan jihad
j) Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa di antara pihak-pihak yang bersangkuatan.

B. Pengertian Wilayatul Hisbah, Sejarah, dan Wewenangnya
1. Pengertian Wilayatul Hisbah
Wilayatul Hisbah (WH) merupakan departemen resmi yang dibentuk oleh pemerintah negara Islam. Tugas utamanya adalah mengawasi pelaksanaan syariat Islam dan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Istilah wilayah, menurut Ibnu Taimiyyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah, bermakna “wewenang” dan “kekuasaan” yang dimiliki oleh institusi pemerintahan untuk menegakkan jihad, keadilan, hudud, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya, semua ini merupakan keperluan agama yang terpenting. Sementara kata hisbah bermakna pengawasan, pengiraan dan perhitungan.
Sehingga dalam struktur pemerintahan, Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang mempunyai wewenang untuk berkampanye menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. Dengan tujuan menerapkan konsep amar ma’ruf nahi munkar dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Sejarah Wilayatul Hisbah
Institusi Wilayatul Hisbah sebenarnya bukanlah lembaga baru dalam tradisi negara Islam. Tradisi hisbah diletakkan langsung pondasinya oleh Rasulullah saw, beliaulah muhtasib (pejabat yang bertugas melaksanakan hisbah) pertama dalam Islam. Rasulullah setiap hari memantau pelaksanaan syari’at oleh masyarakat Madinah. Setiap pelanggaran yang tampak olehnya langsung mendapat teguran disertai nasihat untuk memperbaikinya.
Sering kali beliau masuk ke pasar Madinah mengawasi aktivitas jual beli. Suatu ketika Rasulullah mendapati seorang penjual gandum berlaku curang dengan menimbun gandum basah dan meletakkan gandum yang kering di atas, maka beliau memarahi penjual tersebut dan memerintahkan untuk berlaku jujur.
Kemudian Nabi mengangkat beberapa orang petugas untuk memperhatikan keadaan pasar. Nabi mengangkat Sa’id ibn Ash ibn Umaiyah untuk menjadi pengawas bagi pasar Makkah sesudah Makkah ditundukkan. Dan Umar sendiri pernah mengangkat seorang wanita untuk mengawasi pasar Madinah
Pelembagaan Wilayatul Hisbah dengan struktur yang lebih sempurna dimulai pada masa Umar bin Khattab. Umar ketika itu melantik dan menetapkan bahwa wilayatul hisbah adalah departemen pemerintahan yang resmi. Tradisi ini dilanjutkan oleh dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Turki Usmany sampai akhirnya Wilayatul Hisbah menjadi lembaga yang mesti ada dalam setiap negara muslim. Pada masa kejayaan Islam di Andalusia, institusi pengawas syariat disebut dengan mustasaf, sekarang di kalangan masyarakat Spanyol dikenal dengan al-motacen. Setelah dinasti Turki Usmani runtuh, sulit dilacak negara Muslim yang masih mempraktikkan Wilayatul Hisbah, seiring dengan dikuasainya negara-negara muslim oleh kolonialisme, institusi ke-Islaman yang sebenarnya sudah mapan ini lambat laun hilang bersamaan dengan hilangnya berbagai institusi Islam lainnya.

3. Wewenang Wilayatul Hisbah
Imam Mawardi dalam al-ahkam al-sulthaniyyah mengatakan; Wilayatul Hisbah mempunyai tugas melaksanakan Amar ma’ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya. Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh syara’ adalah tugas muhtasib (petugas Wilayatul Hisbah) untuk mengawasi terlaksana atau tidak di dalam masyarakat.
Namun demikian Wilayatul Hisbah hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, syak wasangka, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang Wilayatul Hisbah, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha’ atau wilayatul mazalim.
Di samping mengawasi, Wilayatul Hisbah juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti melanggar syari’at. Tentu hukuman itu berbentuk ta’zir, yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan kearifan sang hakim diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara’.

Read more

Followers

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.